ZAMAN BATU
Zaman prasejarah berdasarkan arkeologi dibedakan menjadi
zaman batu dan zaman logam. Berdasarkan hasil temuan alat-alat yang digunakan
dan dari cara pengerjaannya, maka zaman batu terbagi menjadi empat, yaitu
1. zaman batu tua atau kebudayaan Palaeolithikum.
2. zaman batu madya atau kebudayaan Mesolithikum
3. zaman batu muda atau kebudayaan Neolithikum
4. zaman batu besar Megalithikum.
Dengan berkembangnya tingkat berpikir manusia, maka manusia
tidak hanya menggunakan bahan-bahan dari batu untuk membuat alat-alat
kehidupannya, tetapi juga mempergunakan bahan dari logam, yaitu perunggu dan
besi untuk membuat alat-alat yang diperlukan.
A. Zaman Paleolithikum
Paleolithikum berasal
dari kata Palaeo artinya tua, dan
Lithos yang artinya batu sehingga zaman
ini disebut zaman batu tua. Hasil kebudayaannya banyak ditemukan di daerah
Pacitan dan Ngandong Jawa Timur.
Para arkeolog sepakat untuk membedakan temuan benda-benda
prasejarah di kedua tempat tersebut, yaitu sebagai kebudayaan Pacitan dan
kebudayaan Ngandong.
Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas
salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanya
sebagai tempat menggenggam. Daerah penemuan kapak perimbas atau kapak genggam
selain di Pacitan Jawa Timur juga ditemukan di daerah-daerah lain, seperti
Jampang Kulon, Parigi Jawa Timur, Tambang Sawah, Lahat, dan Kalianda Sumatra,
Awang Bangkal Kalimantan, Cabenge Sulawesi, Sembiran dan Terunyan Bali.
Di sekitar daerah Madiun Jawa Timur ditemukan kapak genggam
dan alat-alat dari tulang dan tanduk. Alat-alat dari tulang tersebut bentuknya
ada yang seperti belati dan ujung tombak yang bergerigi pada sisinya. Adapun
fungsi dari alat-alat tersebut adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam
tanah, serta menangkap ikan.
Di daerah Ngandong juga ditemukan alat-alat lain berupa
alat-alat kecil terbuat dari batu yang disebut dengan flakes atau alat serpih.
Flakes terbuat dari batu biasa dan ada juga yang dibuat dari batu-batu indah
berwarna seperti calsedon.
Alat yang bernama flakes mempunyai fungsi sebagai alat untuk
menguliti hewan buruannya, mengiris daging atau memotong umbi-umbian. Fungsinya
seperti pisau pada masa sekarang. Flakes ditemukan di daerah-daerah seperti
Sangiran, Pacitan, Gombong, Parigi, Jampang Kulon, Ngandong, Mangeruda Flores,
Cabbenge Sulawesi, Wangka, Soa, Lahat Sumatra, dan Batturing Sumbawa.
Temuan arkeologis pada zaman Paleolithikum didukung oleh
temuan manusia purba sebagai berikut.
1) Meganthropus
Palaeojavanicus, manusia purba ini dianggap sebagai manusia tertua yang hidup
di Jawa kira-kira 2-1 juta tahun yang lalu. Rahangnya mirip kera diperkirakan
terus berevolusi. Fosil manusia yang memiliki rahang besar ini ditemukan pada
1941 di Desa Sangiran, lembah Sungai Bengawan Solo oleh Von Koenigswald.
2) Pithecanthropus
Robustus dan Pithecanthropus Mojokertensis ditemukan 1936 di lembah Kali
Berantas oleh Von Koenigswald.
3) Pithecanthropus
Erectus ditemukan 1890 di Desa Trinil, lembah Bengawan Solo oleh E. Dubois.
4) Homo Soloensis
dan Homo Wajakensis ditemukan antara 1931-1934 di Solo dan Wajak.
B. Zaman Mesolithikum
Mesolithikum berasal dari kata Meso yang artinya tengah dan
Lithos yang artinya batu sehingga zaman
ini dapat disebut zaman batu tengah.
Ciri kebudayaan Mesolithikum tidak jauh berbeda dengan
kebudayaan Palaeolithikum. Namun pada masa Mesolithikum, manusia yang hidup
sudah ada yang menetap sehingga kebudayaan Mesolithikum sangat menonjol dan
sekaligus menjadi ciri dari zaman ini yang disebut dengan kebudayaan
Kjokkenmoddinger dan Abris sous Roche.
Kjokkenmoddinger yaitu istilah yang berasal dari bahasa
Denmark, yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah. Jadi,
Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Kjokkenmoddinger dapat
diartikan juga timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai
ketinggian ± 7 meter dan sudah menjadi fosil.
Kjokkenmoddinger ditemukan di sepanjang pantai timur
Sumatra, yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut,
menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun
1925 Dr. P.V.Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut
dan hasilnya banyak ditemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan
chopper, yakni kapak genggam Palaeolithikum.
Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut
dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatra sesuai dengan lokasi penemuannya,
yaitu di Pulau Sumatra. Pebble bentuknya dapat dikatakan sudah agak sempurna
dan sudah mulai halus. Bahan untuk membuatnya berasal dari batu kali yang
dipecah-pecah. Selain pebble dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan sejenis
kapak, tetapi bentuknya pendek seperti setengah lingkaran yang disebut dengan
Hache Courte atau kapak pendek. Di dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan fosil
manusia yang berupa tulang belulang, pecahan tengkorak dan gigi. Meskipun
tulang-tulang tersebut tidak memberikan gambaran yang lengkap, dari hasil
penelitian memberikan kesimpulan bahwa manusia yang hidup pada masa
Mesolithikum adalah jenis Homo Sapiens.
Selain Kjokkenmoddinger, ciri lain yang sangat menonjol dari
zaman Mesolithikum seperti yang disebut di atas adalah Abris sous Roche. Abris
Sous Roche adalah gua-gua yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada
zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan
binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan tahun 1928
– 1931 oleh Dr. Van Stein Callenfels di gua Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa
Timur.
Alat-alat yang ditemukan pada gua tersebut antara lain
alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah
diasah yang berasal dari zaman Mesolithikum, serta alat-alat dari tulang dan
tanduk rusa.
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa zaman
Mesolithikum sesungguhnya memiliki tiga corak kebudayaan yang terdiri dari:
1) Kebudayaan pebble atau pebble culture di Sumatra Timur.
2) Kebudayaan tulang atau bone culture di Sampung Ponorogo.
3) Kebudayaan flakes atau flakes culture di Toala, Timor dan
Rote
Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di
Indonesia sebagai pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog
melakukan penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke
daerah Teluk Tonkin, daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil
penyelidikan tersebut, ditemukan pusat pebble dan kapak pendek yang berasal
dari Pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara.
Namun, di daerah tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan
di dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan flakes, bahkan di Pulau Luzon
Filipina juga ditemukan flakes.
C. Zaman Neolithikum
Neolithikum berasal dari kata Neo yang artinya baru dan
Lithos yang artinya batu.
Neolithikum berarti zaman baru, hasil kebudayaan yang
terkenal pada zaman Neolithikum ini adalah jenis kapak persegi dan kapak
lonjong. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar
penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium.
Kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang besar
dan kecil. Ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan fungsinya sebagai
cangkul. Adapun yang ukuran kecil disebut dengan Tarah atau Tatah dan fungsinya
sebagai alat pahat. Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa,
juga dibuat dari batu api atau chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat
dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat, atau
tanda kebesaran.
Kapak persegi masuk ke Indonesia melalui jalur barat dan
daerah penyebarannya di Indonesia adalah Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara,
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Kapak persegi sebetulnya berasal dari daratan
Asia. Di Indonesia banyak ditemukan pabrik atau tempat pembuatan kapak tersebut
yaitu di Lahat Sumatra Selatan, Bogor, Sukabumi, Karawang, Tasikmalaya, Pacitan
serta lereng selatan Gunung Ijen Jawa Timur.
Pada waktu yang hampir bersamaan dengan penyebaran kapak
persegi, di Indonesia Timur juga tersebar sejenis kapak yang penampang
melintangnya berbentuk lonjong sehingga disebut kapak lonjong.
Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut
dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi
kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah
Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar, dan Irian. Dari Irian kapak lonjong
tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia sehingga para arkeolog
menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua.
Selain berkembang kapak persegi dan kapak lonjong, pada
zaman Neolithikum juga terdapat barang-barang yang lain seperti perhiasan,
gerabah, dan pakaian. Perhiasan yang banyak ditemukan umumnya terbuat dari
batu, baik batu biasa maupun batu berwarna atau batu permata atau juga terbuat
dari kulit kerang. Adapun gerabah, baru
dikenal pada zaman Neolithikum, dan teknik pembuatannya masih sangat sederhana
karena hanya menggunakan tangan tanpa bantuan roda pemutar seperti sekarang.
Pakaian yang dikenal oleh masyarakat pada zaman Neolithikum
dapat diketahui melalui suatu kesimpulan penemuan alat pemukul kayu di daerah
Kalimantan dan Sulawesi Selatan. Hal ini berarti pakaian yang dikenal pada
zaman Neolithikum berasal dari kulit kayu. Dan, kesimpulan tersebut diperkuat
dengan adanya pakaian suku Dayak dan suku Toraja, yang terbuat dari kulit kayu.
D. Zaman Megalithikum
Megalithikum atau zaman batu besar diperkirakan berkembang
sejak zaman batu muda sampai zaman logam. Ciri utama pada zaman megalithikum
adalah manusia yang hidup pada zamannya sudah mampu membuat bangunan-bangunan
besar yang terbuat dari batu. Banyak terdapat bangunan-bangunan besar terbuat
dari batu ditemukan khususnya yang berkaitan dengan kepercayaan mereka seperti
sarkofagus, kubur batu, punden berundak, arca, menhir, dan dolmen.
Berikut merupakan hasil kebudayaan Megalithikum beserta ciri
dan fungsinya serta tempat ditemukannya.
1) Sarkofagus; benda
ini berupa batu utuh yang terdapat tutupnya, fungsinya sebagai keranda
penyimpan mayat, banyak ditemukan di daerah Bali.
2) Menhir; benda ini
memiliki ciri-ciri seperti tugu atau tiang batu yang tungga atau kelompok,
fungsinya sebagai tempat pemujaan. Adapun tempat ditemukannya di Paseman
Sumatra Selatan dan Sulawesi Tengah.
3) Dolmen; benda ini
berupa meja yang terbuat dari batu fungsinya sebagai tempat sesajen. Adapun
tempat ditemukannya di Cipari Kuningan, Pasemah dan Nusa Tenggara.
4) Punden
berundak-undak; benda ini berupa susunan batu bertingkat yang berfungsi sebagai
tempat pemujaan, ditemukan di Lebak Sibedug dan Bukit Hyang Jawa Timur.
5) Arca Batu; benda
ini berupa patung manusia dan binatang yang berfungsi sebagai bentuk
penghormatan terhadap tokoh yang disukai, ditemukan di daerah Lampung, Pasemah,
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
6) Pandhusa; benda
ini berupa meja batu yang kakinya tertutup rapat berfungsi sebagai kuburan,
ditemukan di Bondowoso dan Besuki Jawa Timur.